Suriah Pasca Assad, Investasi Iran Menjadi Misteri


Pasca lengsernya Bashar al-Assad, dinamika politik dan ekonomi Suriah mengalami perubahan signifikan. Pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Ahmed al-Sharaa berupaya menata kembali fondasi negara setelah lebih dari satu dekade konflik dan keterpurukan ekonomi. Dalam transisi ini, perhatian banyak pihak tertuju pada nasib investasi Iran yang selama bertahun-tahun menjadi penopang penting Damaskus.

Iran sejak awal konflik menjadi salah satu sekutu terdekat Suriah. Dukungan itu bukan hanya dalam bentuk militer, tetapi juga melalui investasi di sektor energi, telekomunikasi, dan pembangunan infrastruktur. Kini, ketika pemerintahan baru mulai menegaskan arah kebijakan luar negerinya, muncul pertanyaan apakah perusahaan Iran masih akan dipertahankan atau justru ditinjau ulang.

Sejumlah perusahaan milik Iran pernah aktif di Suriah. Mereka terlibat dalam pembangunan pembangkit listrik, pengoperasian jaringan telekomunikasi, hingga proyek perumahan rakyat. Kehadiran perusahaan tersebut sekaligus menjadi simbol eratnya hubungan Teheran-Damaskus pada masa Assad. Namun pasca perubahan politik, status perusahaan ini tampak menggantung.

Pemerintahan Al-Sharaa menghadapi dilema. Di satu sisi, Suriah masih membutuhkan dukungan besar untuk rekonstruksi. Di sisi lain, ada tekanan dari kelompok oposisi dan sebagian negara Arab agar Damaskus mengurangi ketergantungan pada Iran. Situasi ini menimbulkan ketidakpastian bagi perusahaan Iran yang masih beroperasi.

Dalam beberapa bulan terakhir, terlihat kecenderungan baru dari Damaskus yang ingin memperluas mitra, tidak hanya bergantung pada satu poros. Pemerintahan Al-Sharaa mulai membuka ruang bagi investor dari negara Teluk dan bahkan menjajaki hubungan lebih luas dengan Turki serta Eropa.

Meski demikian, juru bicara pemerintah Iran, Ali Baqaei, dalam konferensi pers menegaskan bahwa persahabatan antara Iran dan Suriah tidak bersifat sementara. Ia menyebut, “Hubungan dua bangsa Muslim dengan sejarah panjang tidak akan pernah benar-benar putus.” Pesan ini seolah ditujukan untuk menegaskan bahwa Iran tetap siap mendukung Suriah dalam kondisi apa pun.

Baqaei menambahkan bahwa Iran tidak terburu-buru memaksa Suriah dalam kerja sama ekonomi. Menurutnya, persahabatan sejati diuji pada saat-saat sulit, dan kapan pun rakyat Suriah menganggap hubungan dengan Iran menguntungkan, Teheran siap mengambil langkah timbal balik.

Namun para pengamat menilai, tanpa jaminan politik yang kuat, perusahaan Iran sulit mempertahankan operasinya di Suriah. Banyak proyek energi dan konstruksi yang terhambat karena faktor keamanan dan pendanaan. Kini, dengan arah politik baru, risiko ketidakpastian itu semakin besar.

Di sektor energi, perusahaan Iran sebelumnya berperan penting dalam pembangunan pembangkit listrik. Proyek ini sebagian besar masih terbengkalai, dan pemerintahan baru harus memutuskan apakah akan melanjutkan dengan Iran atau membuka tender bagi mitra lain.

Sektor telekomunikasi juga menghadapi situasi serupa. Iran sempat mendorong pengoperasian operator seluler di Suriah, namun hingga kini perkembangannya masih minim. Dengan pemerintahan baru yang lebih terbuka pada investor lain, peluang Iran untuk melanjutkan proyek ini menjadi lebih kecil.

Di bidang konstruksi, Iran menawarkan teknologi pembangunan cepat untuk memenuhi kebutuhan perumahan. Tawaran ini masih relevan, namun pemerintahan baru tampaknya lebih tertarik mencari dukungan dari negara-negara Teluk yang memiliki dana besar dan akses lebih luas ke pasar global.

Baqaei menekankan bahwa hubungan dengan Suriah tidak hanya soal ekonomi, melainkan juga solidaritas politik. Menurutnya, Iran tetap menolak intervensi Israel dan mendukung kedaulatan Suriah. Sikap ini menunjukkan bahwa bagi Iran, keberadaan perusahaan mereka di Suriah adalah bagian dari strategi geopolitik, bukan sekadar bisnis.

Namun, pemerintahan Al-Sharaa mencoba menjaga keseimbangan. Mereka tidak ingin terlihat terlalu dekat dengan satu pihak, apalagi di tengah upaya mendekatkan kembali Suriah ke Liga Arab. Karena itu, arah kebijakan ekonomi akan lebih pragmatis dibandingkan ideologis.

Sejumlah analis menilai bahwa perusahaan Iran, sebagaimana perusahaan Rusia, mungkin tetap bertahan dalam skala kecil, khususnya di sektor energi, dioperasikan oleh mitra lokal, selama hubungan politik tidak memburuk. Namun untuk proyek besar, peluang Iran semakin sempit jika dibandingkan dengan investor baru yang lebih kuat secara finansial.

Kendati demikian, Iran masih memiliki keunggulan berupa pengalaman lapangan. Mereka sudah lama hadir di Suriah bahkan di masa paling sulit, sesuatu yang mungkin tidak dimiliki mitra baru.

Pemerintahan baru juga dihadapkan pada kebutuhan mendesak: rekonstruksi cepat dan pemulihan ekonomi. Dalam konteks ini, siapa pun yang bisa menawarkan solusi praktis dan cepat, termasuk Iran, berpotensi tetap mendapat ruang.

Meski demikian, Iran kini menghadapi persaingan ketat. Negara-negara Teluk sudah mulai menunjukkan minat serius untuk masuk ke Suriah dengan dana besar. Hal ini bisa menggeser posisi Iran yang selama ini menjadi pemain utama.

Iran sendiri tidak menunjukkan tanda-tanda mundur. Baqaei menegaskan bahwa dukungan untuk Suriah bersifat permanen, apa pun bentuk pemerintahan yang berkuasa. Dengan begitu, meski menghadapi tantangan, Iran berusaha memastikan bahwa pengaruhnya tidak hilang begitu saja.

Masa depan investasi Iran di Suriah pasca Assad kini berada di persimpangan. Banyak bergantung pada seberapa jauh pemerintahan baru mau menyeimbangkan hubungan dengan Teheran dan membuka pintu bagi mitra lain.

Pada akhirnya, keberlangsungan perusahaan Iran di Suriah akan sangat ditentukan oleh keputusan politik Al-Sharaa. Apakah akan melanjutkan warisan lama dengan Iran, atau menempuh jalan baru bersama mitra berbeda, masih menjadi pertanyaan besar yang akan memengaruhi arah Suriah di masa depan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama